Sejarah Super Hornet berawal dari F/A-18 A/B/C/D Hornet.
Kode F/A berarti kemampuan untuk melaksanakan fungsi Fighter dan Attack
sekaligus. Sebenarnya F-4 Phantom dan F-14 Tomcat sudah berhasil melaksanakan
kedua fungsi diatas. Tapi kondisi politik dunia berubah sehingga budget
pertahanan dipotong dan pola ancaman berubah. US NAVY ingin F/A yang mengakomodasi
teknologi terbaru, efektif di pertempuran modern, tapi dengan biaya operasi
rendah.
Tuntutan multi role dan ekonomis tentu saja butuh pengorbanan.
Hornet tidak memiliki high speed performance sebaik F-14 Tomcat dan kapasitas
angkut munisi sebesar A-6 Intruder. Sebagai gantinya Hornet dibekali manuverabilitas
di kecepatan rendah yang sangat baik. Kelincahan ini berguna untuk untuk misi
air superiority ataupun melindungi diri sendiri saat melakukan misi
penyerangan. Hornet juga dibekali dengan avionik canggih dan berbagai munisi
pintar untuk memberikan impact sebesar mungkin dengan sedikit munisi yang
dibawa. Disain kokpit pun dibuat se-ergonomis mungkin untuk meringankan beban
pilot, membuatnya lebih fokus menjalankan misi kombinasi air to air dan air to
ground yang kompleks. Semua ini dilengkapi dengan kehandalan sistem dan
kemudahan maintenance, meningkatkan jumlah Hornet yang tersedia untuk
melaksanakan misi pada saat dibutuhkan. Mengingat terbatasnya jumlah pesawat
yang bisa dibawa kapal induk, poin terakhir ini sangat bermanfaat dalam perang
jangka panjang.
Walau punya berbagai kelebihan, kapasitas bahan bakar internal
Hornet terlalu kecil untuk pesawat kapal induk. Hal ini menyebabkan jangkauan
Hornet terlalu pendek. Kapal induk perlu ditempatkan dekat dengan target,
membahayakan asset strategis yang sangat mahal. Hal ini juga membuat endurance
Hornet tidak cukup untuk patroli cukup lama pada misi pertahanan kapal induk. Akan
sulit menempatkan Hornet dekat dengan sumber ancaman dalam waktu cukup lama. Dari
jarak jauh dan tanpa kecepatan tinggi, apakah Hornet sempat mencegat penyerang
sebelum dia meluncurkan ASM ke armada kapal induk???
Air refueling dan drop tank bisa digunakan untuk menutupi
kekurangan Hornet, akan tetapi kedua metode ini punya kelemahan. Air refueling
mengharuskan pesawat tanker dan penerima untuk terbang dengan arah dan
kecepatan stabil. Musuh yang cerdas bisa mengeksploitasi celah ini dengan
membuat ancaman baik nyata ataupun tipuan terhadap pesawat tanker. Hal ini akan
mempersempit area dan waktu yang aman untuk melakukan air refueling sekaligus
memaksa mission planner menurunkan fighter untuk mengawal tanker, mengurangi
jumlah pesawat yang tersedia untuk misi inti.
Drop tank terlihat sebagai solusi yang cukup bagus. Bahan
bakar ektra dibawa di tangki eksternal yang bisa dibuang saat pesawat butuh
performa maksimum. Hornet Mampu membawa tiga drop tank di centerline dan wing
inboard pylon. Masalahnya dalam konfigurasi ini hanya tersedia sepasang heavy
pylon di sayap untuk membawa munisi berat. Munisi yang bisa dibawa setiap
pesawat terlalu sedikit, mengharuskan lebih banyak Hornet dikirim untuk satu
misi, membahayakan lebih banyak pilot, menuntut suplai logistik lebih berat.
It’s a Hornet, just better
Super Hornet didisain dengan internal fuel lebih banyak,
menutupi kekurangan Hornet generasi sebelumnya. Airframe Super Hornet dibuat
lebih besar untuk menampung bahan bakar ekstra. Konsekuensinya adalah bobot dan
drag yang membengkak. Kenaikan drag masih bisa diminimalisasi dengan optimasi disain
aerodinamika. Walau bobot masih bisa dimanage dengan menggunakan struktur yang
lebih baik, kenaikan signifikan tidak dapat dihindari. Thrust dan Lift perlu
dinaikkan untuk mempertahankan performa Super Hornet seperti generasi
sebelumnya. Mesin F414 yang lebih bertenaga digunakan untuk memberi thrust
lebih. Lift ekstra diperoleh dengan memperbesar sayap diikuti dengan perubahan
pada bidang-bidang kontrol dan LERX. Semua ini dilakukan dengan memperhitungkan
berbagai faktor seperti distribusi massa
dan elastisitas airframe untuk mempertahankan kelincahan sekaligus meredam
vibrasi yang berbahaya. Hebatnya Boeing tidak hanya berhasil memperbesar
airframe, tapi juga menyederhanakan strukturnya. Walau lebih besar, jumlah
parts Super Hornet lebih sedikit dari pendahulunya, mempermudah maintenance.
Semua modifikasi tadi pastinya merubah aliran udara disekitar
pesawat. Walau bentuknya mirip dengan Hornet, test flight Super Hornet perlu
dilakukan seperti pesawat baru. Tentu saja banyak problem yang dijumpai saat
test flight. Salah satu yang banyak diekspos adalah wing drop. Satu sayap bisa
tiba-tiba kehilangan daya angkat saat sedang ber-manuver, membawa pesawat ke
kondisi spin. Saat test flight, wing drop tidak membahayakan karena ada
ketinggian yang cukup dan Super Hornet bisa recover dengan relatif cepat. Akan
tetapi saat dogfight ataupun terbang rendah, wing drop bisa fatal. Boeing harus
menemukan solusi masalah ini, dan mereka berhasil walau dengan susah-payah dan
harga mahal.
Setelah berbagai koreksi disain, kelincahan Super Hornet
setara dan di beberapa aspek lebih baik dari Hornet aslinya. Satu masalah yang
tidak bisa diatasi adalah akselerasi transonic Super Hornet yang lebih lamban
dari F/A-18C Hornet. Soal kelincahan
fighter, F-16 bisa digunakan sebagai acuan. Pilot F-16 bisa memanfaatkan
thrust-to-weight ratio yang lebih tinggi untuk “mengerjai” Super Hornet dalam
energy maneuvering. Akan tetapi saat dogfight terjadi di kecepatan rendah,
pilot F-16 harus sangat wapada karena Super Hornet bisa mengarahkan hidungnya
dengan sudut AoA ekstrim seketika.
RCS Super Hornet juga ikut direduksi dengan berbagai cara. Yang
paling terlihat dari luar adalah perubahan bentuk air intake menjadi kotak. Di
dalam intake juga terdapat struktur yang mencegah pantulan radar dari
compressor face. Selain itu sudut panel line juga diatur agar memantulkan
gelombang radar ke arah lain. Metode reduksi RCS tadi memang tidak akan membuat
Super Hornet menjadi stealth fighter sejati seperti F-22 atau F-35. Tujuannya
adalah untuk mereduksi jangkauan radar lawan, memberi kesempatan untuk
meluncurkan stand off weapons sekelas JASSM atau SLAM-ER.
Airframe yang lebih besar membuka ruang bagi avionik yang
lebih canggih. Super Hornet dilengkapi dengan radar AESA APG-79. AESA adalah
akronim dari Active Electronically Scanned Array. Radar beam tidak lagi
diarahkan secara mekanik dengan memutar antenna. Antenna array radar AESA
dipasang fix, setiap elemen memancarkan gelombang dengan amplitudo dan fasa
yang dikontrol secara elektronik. Pola superposisi gelombang dari setiap elemen
akan membentuk radar beam. Kontrol elektronik membuat radar beam bisa diarahkan
secara fleksibel dengan cepat, memungkinkan Super Hornet menembak beberapa
AMRAAM ke beberapa target yang terpisah jauh sekaligus. Kokpit Super Hornet
juga sudah terintegrasi dengan JHMCS, memungkinkan pilot untuk mengunci sasaran
hanya dengan melihatnya saja, tidak harus mengarahkan hidung pesawat. Sistem
ini akan sangat lethal di jarak dekat saat dipadukan dengan off-boresight
missile macam AIM-9X. Situational awareness ikut ditingkatkan dengan Touch
screen Up Front Control Display, LCD touch screen besar di tengah instrument
panel menampilkan gabungan data dari berbagai sensor. Pilot bisa memfilter
informasi dan mengatur fungsi pesawat dengan mudah dan cepat.
Sayap yang lebih besar memungkinkan penambahan satu pylon
lagi. Total Super Hornet mempunyai 6 pylon dibawah sayap, sepasang di wingtip,
sepasang di fuselage, dan satu di centerline. Hal ini meningkatkan kapasitas
gotong senjata Super Hornet. Bisa mengurangi jumlah pesawat yang diperlukan
untuk menjalankan sebuah misi. Super Hornet juga punya kemampuan mendarat di
kapal induk dengan sisa munisi dan bahan bakar lebih banyak. Menambah safety
margin pendaratan di kapal induk sekaligus mengurangi pembuangan munisi yang
tidak perlu.
Super Hornet didisain dalam tiga varian E, F, dan G. F/A-18E
adalah varian dasar single seater, sementara F/A-18F adalah varian twin seater.
Kursi kedua di belakang memang memakan tempat dan berat, akan tetapi ada
manfaat besar di pertempuran. Backseater di F/A-18F tidak dibebani tugas
menerbangkan pesawat sehingga bisa berperan aktif sebagai mission commander.
Mengkoordinasikan operasi beberapa pesawat dalam satu misi dengan efektif. Sepasang
mata tambahan juga cukup bermanfaat dalam dogfight jarak dekat. Sementara itu
varian G didisain khusus untuk pertempuran elektronika, dilengkapi sensor
sensitif dan jammer pod yang kuat. Sebuah strike package Super Hornet bisa
terdiri dari beberapa pesawat, dikomandani oleh backseater F/A-18F, dan
dilindungi secara elektronik oleh jammer milik EF-18G Growler.
Jarak adalah salah satu faktor paling penting dalam carrier
warfare. Kemampuan air refueling tetap dibutuhkan. Masalahnya dua tanker utama
US NAVY, KA-6 Intruder dan S-3 Viking akan memasuki masa pensiun. Oleh karena
itu Super Hornet sejak awal dibekali kemampuan untuk buddy refueling. Super
Hornet dapat berperan sebagai tanker dengan membawa 4 drop tank dan sebuah
refueling pod.
Walau sudah dioptimasi, disain Super Hornet tetap memiliki
beberapa kelemahan. Yang pertama adalah aliran udara disekitar wing pylons
mengganggu proses pelepasan senjata. Senjata yang dilepas bisa bertabrakan
dengan yang lainnya. Solusi yang digunakan adalah dengan memasang pylon tidak
lurus kedepan, tapi sedikit miring keluar. Selain terlihat aneh, hal ini
menambah drag secara signifikan. Mereduksi jarak tempuh tambahan yang sudah susah
payah diraih dengan memperbesar kapasitas bahan bakar internal. Hal ini juga
menambah stress bagi pylon, sayap, dan munisi yang dibawa, mengurangi usia
pakai mereka.
Kelemahan kedua sebenarnya sedikit aneh untuk fighter modern
sekelas Super Hornet, yaitu tidak adanya sensor IR integral. Saingan Super
Hornet seperti Rafale, Eurofighter Typhoon, dan varian Flanker terbaru
dilengkapi sensor IR integral. Sensor IR bisa digunakan secara senyap, tidak
mengemisikan gelombang elektromagnetik kuat yang bisa membuka posisi fighter.
Sensor IR modern juga sangat sensitif, konon PIRATE milik Eurofighter bisa
mendeteksi suhu kulit F-22 Raptor. Sementara itu Super hornet masih
mengandalkan sensor pod. Selain menambah drag, sensor eksternal juga menempati
ruang yang seharusnya bisa digunakan untuk munisi. Posisi sensor pod pada Super
Hornet juga membawa masalah lain. LANTIRN pod pada F-15 dan F-16 ditempatkan
pada posisi dengan bidang pandang yang luas. Sementara sensor pod Super Hornet
ditempatkan di fuselage pylon sehingga hanya bisa melihat dengan bebas ke
bawah. Pandangan kesamping bisa terhalang oleh munisi yang dibawa wing pylon. Solusi
masa depan untuk masalah ini sepertinya kurang optimal. Sensor IR yang lebih
canggih akan dibuat menyatu dengan centerline drop tank. Metode ini memberi
ruang bagi sensor dengan aperture lebih besar, memungkinkan penggunaan long
wave IR untuk deteksi suhu kulit pesawat dari jarak lebih jauh. Walau demikian
cara ini menegasikan keuntungan utama drop tank, yaitu kemampuan untuk dibuang
saat pesawat butuh performa maksimum. Pilot pasti akan diomeli habis-habisan
jika membuang sensor IR super mahal, dan terpaksa dogfight dengan drag dan
berat ekstra dari drop tank+sensor.
Walau digunakan secara ektensif di kapal induk US NAVY, hanya
Australia
satu satunya negara diluar AS yang mengakuisisi Super Hornet. Bahkan USMC lebih
memilih menpertahankan F/A-18C/D Hornet sampai F-35 STOVL available. Keputusan
untuk mengakuisisi Super Hornet pun tergolong kontroversial. Pasalnya pesawat
ini didapuk untuk menggantikan F-14 Tomcat US NAVY dan F-111 RAAF yang sangat
kapabel tapi dinilai terlalu mahal untuk dioperasikan.
Diatas dek kapal induk, F/A-18E/F tidak dipanggil Super
Hornet, tapi disebut dengan nama “Rhino”. Hal ini dilakukan untuk menghindari
miss komunikasi, tertukar dengan Hornet. Jika sampai tertukar saat komunikasi
akibatnya bisa fatal karena setelan catapult and arrester cable untuk Hornet
dan Super Hornet berbeda.
Walau punya berbagai kekurangan dan customer yang sedikit,
Boeing masih yakin dengan disain Super Hornet dan sedang mengembangkan varian
terbaru, Advanced Super Hornet. Kapasitas bahan bakar varian ini didongkrak
lagi dengan Conformal Fuel Tank yang dipasang di punggung, mirip dengan F-16
Block 60. Dengan CFT diharapkan bahan bakar yang dibawa sudah cukup, tidak
perlu lagi drop tank di wing pylon dan bahkan di centerline. Centerline pylon
kemudian ditugasi membawa Enclosed Weapon Pod. EWP adalah kotak besar berbentuk
streamline yang punya RCS kecil. Didalamnya tersimpan sejumlah munisi pintar
secara stealthy. Daya serangnya memang tidak besar, tapi bisa menusuk jauh ke
garis belakang musuh dan menyerang titik vitalnya secara akurat. Selain itu
Boeing juga akan meningkatkan kemampuan sensor pasif Super Hornet dengan radar
pasif yang berbasis sistem milik Growler dan integrated IRST.
Hasegawa 1/72 F/A-18F Super Hornet
Hasegawa 1/72 F/A-18F parts |
Hasegawa memberi perhatian cukup besar pada akurasi. Instruction
sheet menunjukkan panel line dan raised detail tertentu yang perlu dihapus
untuk membuat Super Hornet akurat sesuai pesawat spesifik yang akan dibuat.
Hasegawa 1/72 F/A-18F clear parts and decal |
Kelemahan utama kit ini adalah kokpitnya. Hasegawa bermain
aman di area ini dengan merepresentasikan instrument panel dan side console
menggunakan decal. Metode ini memang tidak se-realistis raised relief, tapi
jauh lebih mudah dibuat. Cukup cat warna dasar yang sesuai lalu pasang decal
yang sudah di trim. Trimming perlu dilakukan untuk mencegah carrier film
menonjol keluar, cukup susah dikoreksi setelah decal diapsang. Trimming bisa
dilakukan dengan bantuan hobby knife atau cutter tajam. Cukup potong lapisan
decal filmnya saja, tidak perlu sampai memotong backing paper. Jika dilakukan
dengan benar hasilnya cukup memuaskan mengingat kokpit skala 1/72 cukup kecil
dan instrument panel Super Hornet didominasi layar LCD yang datar. Hasegawa
menyediakan ejection seat yang cukup sederhana, bisa diperkaya lagi dengan
scratch build.
Hasegawa menyediakan polycap untuk memasang elevator.
Elevator tidak perlu di lem mati, bisa dipasang belakangan dengan posisi yang
diinginkan. Metode ini juga menghindari kemungkinan patahnya elevator saat
assembly dan painting.
Salah satu daya tarik carrier aircraft adalah landing gear. Take
off dengan diseret catapult dan landing dengan kecepatan tinggi menuntut
landing gear kokoh dan suspensi rumit. Hasegawa merepresentasikan bentuk
landing gear Super Hornet dengan sangat baik di kit ini.
Hasegawa terkenal pelit dalam hal munisi pesawat. Hasegawa
tidak menyediakan munisi air-to-ground di kit ini. Anda bisa mendapatkannya
dari sisa kit lain atau weapons set khusus keluaran Hasegawa.
Untungnya Hasegawa menyediakan load out lengkap untuk misi
air-to-air. ATFLIR pod yang cukup akurat disediakan utuk dipasang di fuselage
pylon. Centerline dan wing inboard pylon bisa dicanteli tiga buah drop tank
lengkap dengan stencil dalam bentuk decal. Wing center pylon memang kosong,
tapi paling tidak Hasegawa menyediakan pylon yang detail.
Hasegawa 1/72 F/A-18F AMRAAM |
Hasegawa 1/72 F/A-18F AIM-9X |
Hasegawa menyediakan decal untuk membuat F/A-18F Super
Hornet VFA-11 Red Rippers yang ditugaskan di USS Theodore Roosevelt tahun
2014-2015. Sesuai dengan box art, tersedia decal untuk pesawat milik CAG. CAG
adalah komandan tertinggi air wing kapal induk, membawahi seluruh elemen udara
tidak hanya skuadron fighter saja. Pesawat CAG biasanya memiliki marking high
visibility yang unik, disediakan dengan akurat oleh Hasegawa di kit ini. Jika
Anda lebih menyukai marking low visibility yang lebih kalem, Hasegawa juga
menyediakan opsi untuk Super Hornet tunggangan CO (Commanding officer)
skuadron.
Overall walau memiliki kekurangan di kokpit dan munisi
air-to-ground, kit ini tetap merupakan salah satu Super Hornet terbaik di skala
1/72. Detil permukaan yang dicetak tajam dan konsisten adalah poin plus utama
kit ini. Memang tidak berlebihan dan tidak mencolok, tapi akan terlihat sangat
realistis setelah model jadi. Load out misi air-to-air yang lengkap, tajam,
akurat, dan diperkaya marking juga merupakan poin plus mokit ini. Fitting khas
hasegawa yang terkenal presisi juga mempermudah modeler pemula untuk merasakan
asyiknya hobby ini. Sementara modeler senior bisa memperkaya kokpit dengan
detil scratch build yang lebih lengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar