Hasegawa 1/200 777-300 JAL |
Bicara Boeing 777 langsung teringat kenangan manis event
aviasi terbesar yang pernah ada di Indonesia , IAS 96. Event langka ini
tentu saja disambut dengan antusias, dan dari kejauhan terlihat sebuah twin
engine airliner raksasa di barisan paling depan pameran statik, Boeing 777.
Ukuran 777 terlihat sangat besar, hampir sebesar 747. Tidak hanya besar, para
engineer Boeing juga dengan cerdas meramu bentuk yang terlihat cantik dan
aerodinamis.
777 menawarkan kapasitas besar, jarak sangat jauh, dan
terutama efisiensi tinggi. Dengan perhitungan rute yang tepat, 777 bisa menjadi
mesin uang yang sangat produktif bagi maskapai penggunanya. Ada beberapa langkah yang ditempuh Boeing
untuk menghasilkan efisiensi tinggi. Seperti penggunaan material komposit di
titik-titik strategis untuk menekan bobot. Lalu ada disain sayap high aspect
ratio yang menghasilkan cukup lift untuk mengangkat airliner raksasa tersebut
dengan konsekuensi induced drag minimum. Penggunaan hanya 2 mesin high bypass
turbofan bertenaga super besar juga menyumbang efisiensi bahan bakar 777.
Selain beberapa faktor diatas, Boeing juga sukses
mengimplementasikan FBW (Fly by Wire) untuk meningkatkan efisiensi 777.
Sebelumnya kita mungkin mengenal aplikasi FBW untuk menghasilkan kelincahan
ekstrim pada F-16. Aplikasi FBW pada 777 tidak ditujukan untuk meningkatkan
kelincahan airliner tersebut. Sepertinya akan banyak penumpang yang complain
kalau pesawat yang ditumpanginya melakukan manuver 9G. Sebaliknya 777 yang
dilengkapi FBW didisain untuk terbang lurus dan stabil, jauh dari manuver
ekstrim F-16. Tapi 777 melakukannya (terbang stabil) dengan relatif lebih
efisien dari airliner konvensional. Bagaimana caranya?
Jawaban pertama bisa jadi ada pada fleksibilitas sistem FBW
dibandingkan konvensional. Pada FBW tidak ada link mekanis langsung dari input
pilot ke bidang kendali seperti aileron, elevator, dan rudder. Sebagai gantinya
pergerakan control column (input pilot) diterjemahkan ke sinyal elektrik yang
akan mengendalikan sistem servo di dekat bidang kendali. Sistem transmisi
mekanis berat diganti dengan kabel sinyal elektrik yang lebih ringan.
Keunggulan ini bisa jadi diimbangi oleh kebutuhan komputer ekstra beserta power
supply yang cukup berat. Namun sistem kabel listrik pada FBW lebih fleksibel,
memperluas pilihan disainer pesawat untuk membuat bentuk yang lebih optimum.
Jawaban kedua ada pada cara sistem FBW untuk memberikan
kestabilan terbang. Pada pesawat konvensional titik berat (CG) pesawat didisain
didepan titik daya angkat sayap (CP). Tendensi pesawat untuk menukik diimbangi
dengan lift ke bawah dari elevator. Kurang lebih teorinya seperti ini, lift
berbanding lurus terhadap angle of attack (AoA) secara nyaris linear pada AoA
kecil. Jika ada gangguan yang menyebabkan nose up, maka AoA elevator akan
berkurang dan lift kebawah yang dihasilkannya juga berkurang. Hal ini
menyebabkan momen gaya akibat CG yang berada di
depan CP lebih besar dari momen gaya
dari elevator di belakang. Hasilnya pesawat secara otomatis nose down kembali
ke level flight. Hal yang sebaliknya terjadi saat ada gangguan yang menyebabkan
nose down. Pada kondisi nose down AoA elevator meningkat dan lift beserta momen
gaya akibat elevator akan lebih besar dari momen
gaya akibat CG
di depan CP. Hasilnya hidung akan naik
otomatis kembali ke flight level. Kondisi ini disebut kestabilan statis.
Semakin jauh posisi CG di depan CP, maka akan semakin besar
kestabilan statis pesawat. Masalahnya momen gaya akibat CG makin membesar dan perlu
diimbangi dengan lift ke bawah dari elevator. Dan Lift yang dibutuhkan sayap
akan semakin membesar karena harus mengimbangi berat ditambah lift kebawah dari
elevator yang semakin besar. Sayangnya lift dari sayap ataupun elevator tidak
gratis. Lift akan menimbulkan konsekuensi induced drag. Semakin besar lift yang
diperlukan, semakin besar induced drag yang akan menyebabkan naiknya konsumsi
bahan bakar. Konsumsi bahan bakar meningkat punya efek samping panjang. Pesawat
butuh lebih banyak bahan bakar yang perlu dibawa di airframe yang lebih besar
dan berat. Hal ini menghasilkan drag ekstra dan butuh lebih banyak lift lagi,
yang akan menghasilkan induced drag lebih lagi. Begitu seterusnya sampai titik
tertentu yang menyebabkan pesawat dengan kestabilan statis tinggi butuh lebih
banyak bahan bakar.
Efisiensi bisa ditingkatkan menggeser CG kebelakang
mendekati CP. Dengan konfigurasi ini lift kebawah yang harus disediakan
elevator menjadi lebih kecil. Lift sayap juga lebih kecil, dan dengan disain
yang tepat induced drag juga bisa diminimalisasi. Masalahnya semakin mundur CG,
kestabilan statis akan berkurang. Semakin sulit untuk diterbangkan manual oleh
pilot. Disinilah FBW berperan penting. Pada FBW input pilot tidak disalurkan
langsung ke bidang kendali, Contohnya saat pilot menarik yoke ke belakang bukan
berarti elevator terdefleksi kebawah. Tapi komputer akan membaca input pilot
dan data posisi pesawat dari berbagai sensor untuk menentukan defleksi bidang
kontrol yang sesuai agar menghasilkan manuver yang diinginkan pilot. Saat
control column berada dalam posisi netral pun sistem FBW bekerja keras
menggerakkan berbagai bidang kontrol untuk menjamin pesawat terbang stabil dan
datar.
777 didisain dengan Relaxed Static Stability. Kestabilan
statis diturunkan dalam batas aman untuk menghasilkan efisiensi optimum.
Kestabilan terbang dibantu oleh FBW yang pastinya dijaga oleh beberapa lapis
redundansi. Dalam kondisi sangat langka saat sistem FBW error pun 777 masih
bisa diterbangkan manual oleh pilot. Sejauh ini 777 adalah pesawat yang
termasuk sangat aman dan pastinya efisien.
Hasegawa 1/200 Boeing 777-300 JAL
Hasegawa 1/200 777-300 fuselage |
Hasegawa 1/200 777-300 nose section |
Hasegawa 1/200 777-300 engine |
Hasegawa 1/200 777-300 landing gear |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar