Review : Hasegawa 1/72 F/A-18F Super Hornet

Hasegawa 1/72 F/A-18F Super Hornet

Jack of all trades, master of none

Sejarah Super Hornet berawal dari F/A-18 A/B/C/D Hornet. Kode F/A berarti kemampuan untuk melaksanakan fungsi Fighter dan Attack sekaligus. Sebenarnya F-4 Phantom dan F-14 Tomcat sudah berhasil melaksanakan kedua fungsi diatas. Tapi kondisi politik dunia berubah sehingga budget pertahanan dipotong dan pola ancaman berubah. US NAVY ingin F/A yang mengakomodasi teknologi terbaru, efektif di pertempuran modern, tapi dengan biaya operasi rendah.


Tuntutan multi role dan ekonomis tentu saja butuh pengorbanan. Hornet tidak memiliki high speed performance sebaik F-14 Tomcat dan kapasitas angkut munisi sebesar A-6 Intruder. Sebagai gantinya Hornet dibekali manuverabilitas di kecepatan rendah yang sangat baik. Kelincahan ini berguna untuk untuk misi air superiority ataupun melindungi diri sendiri saat melakukan misi penyerangan. Hornet juga dibekali dengan avionik canggih dan berbagai munisi pintar untuk memberikan impact sebesar mungkin dengan sedikit munisi yang dibawa. Disain kokpit pun dibuat se-ergonomis mungkin untuk meringankan beban pilot, membuatnya lebih fokus menjalankan misi kombinasi air to air dan air to ground yang kompleks. Semua ini dilengkapi dengan kehandalan sistem dan kemudahan maintenance, meningkatkan jumlah Hornet yang tersedia untuk melaksanakan misi pada saat dibutuhkan. Mengingat terbatasnya jumlah pesawat yang bisa dibawa kapal induk, poin terakhir ini sangat bermanfaat dalam perang jangka panjang.

Walau punya berbagai kelebihan, kapasitas bahan bakar internal Hornet terlalu kecil untuk pesawat kapal induk. Hal ini menyebabkan jangkauan Hornet terlalu pendek. Kapal induk perlu ditempatkan dekat dengan target, membahayakan asset strategis yang sangat mahal. Hal ini juga membuat endurance Hornet tidak cukup untuk patroli cukup lama pada misi pertahanan kapal induk. Akan sulit menempatkan Hornet dekat dengan sumber ancaman dalam waktu cukup lama. Dari jarak jauh dan tanpa kecepatan tinggi, apakah Hornet sempat mencegat penyerang sebelum dia meluncurkan ASM ke armada kapal induk???  

Air refueling dan drop tank bisa digunakan untuk menutupi kekurangan Hornet, akan tetapi kedua metode ini punya kelemahan. Air refueling mengharuskan pesawat tanker dan penerima untuk terbang dengan arah dan kecepatan stabil. Musuh yang cerdas bisa mengeksploitasi celah ini dengan membuat ancaman baik nyata ataupun tipuan terhadap pesawat tanker. Hal ini akan mempersempit area dan waktu yang aman untuk melakukan air refueling sekaligus memaksa mission planner menurunkan fighter untuk mengawal tanker, mengurangi jumlah pesawat yang tersedia untuk misi inti.     

Drop tank terlihat sebagai solusi yang cukup bagus. Bahan bakar ektra dibawa di tangki eksternal yang bisa dibuang saat pesawat butuh performa maksimum. Hornet Mampu membawa tiga drop tank di centerline dan wing inboard pylon. Masalahnya dalam konfigurasi ini hanya tersedia sepasang heavy pylon di sayap untuk membawa munisi berat. Munisi yang bisa dibawa setiap pesawat terlalu sedikit, mengharuskan lebih banyak Hornet dikirim untuk satu misi, membahayakan lebih banyak pilot, menuntut suplai logistik lebih berat.

It’s a Hornet, just better

Super Hornet didisain dengan internal fuel lebih banyak, menutupi kekurangan Hornet generasi sebelumnya. Airframe Super Hornet dibuat lebih besar untuk menampung bahan bakar ekstra. Konsekuensinya adalah bobot dan drag yang membengkak. Kenaikan drag masih bisa diminimalisasi dengan optimasi disain aerodinamika. Walau bobot masih bisa dimanage dengan menggunakan struktur yang lebih baik, kenaikan signifikan tidak dapat dihindari. Thrust dan Lift perlu dinaikkan untuk mempertahankan performa Super Hornet seperti generasi sebelumnya. Mesin F414 yang lebih bertenaga digunakan untuk memberi thrust lebih. Lift ekstra diperoleh dengan memperbesar sayap diikuti dengan perubahan pada bidang-bidang kontrol dan LERX. Semua ini dilakukan dengan memperhitungkan berbagai faktor seperti distribusi massa dan elastisitas airframe untuk mempertahankan kelincahan sekaligus meredam vibrasi yang berbahaya. Hebatnya Boeing tidak hanya berhasil memperbesar airframe, tapi juga menyederhanakan strukturnya. Walau lebih besar, jumlah parts Super Hornet lebih sedikit dari pendahulunya, mempermudah maintenance.      

Semua modifikasi tadi pastinya merubah aliran udara disekitar pesawat. Walau bentuknya mirip dengan Hornet, test flight Super Hornet perlu dilakukan seperti pesawat baru. Tentu saja banyak problem yang dijumpai saat test flight. Salah satu yang banyak diekspos adalah wing drop. Satu sayap bisa tiba-tiba kehilangan daya angkat saat sedang ber-manuver, membawa pesawat ke kondisi spin. Saat test flight, wing drop tidak membahayakan karena ada ketinggian yang cukup dan Super Hornet bisa recover dengan relatif cepat. Akan tetapi saat dogfight ataupun terbang rendah, wing drop bisa fatal. Boeing harus menemukan solusi masalah ini, dan mereka berhasil walau dengan susah-payah dan harga mahal.

Setelah berbagai koreksi disain, kelincahan Super Hornet setara dan di beberapa aspek lebih baik dari Hornet aslinya. Satu masalah yang tidak bisa diatasi adalah akselerasi transonic Super Hornet yang lebih lamban dari F/A-18C Hornet.  Soal kelincahan fighter, F-16 bisa digunakan sebagai acuan. Pilot F-16 bisa memanfaatkan thrust-to-weight ratio yang lebih tinggi untuk “mengerjai” Super Hornet dalam energy maneuvering. Akan tetapi saat dogfight terjadi di kecepatan rendah, pilot F-16 harus sangat wapada karena Super Hornet bisa mengarahkan hidungnya dengan sudut AoA ekstrim seketika.

RCS Super Hornet juga ikut direduksi dengan berbagai cara. Yang paling terlihat dari luar adalah perubahan bentuk air intake menjadi kotak. Di dalam intake juga terdapat struktur yang mencegah pantulan radar dari compressor face. Selain itu sudut panel line juga diatur agar memantulkan gelombang radar ke arah lain. Metode reduksi RCS tadi memang tidak akan membuat Super Hornet menjadi stealth fighter sejati seperti F-22 atau F-35. Tujuannya adalah untuk mereduksi jangkauan radar lawan, memberi kesempatan untuk meluncurkan stand off weapons sekelas JASSM atau SLAM-ER. 

Airframe yang lebih besar membuka ruang bagi avionik yang lebih canggih. Super Hornet dilengkapi dengan radar AESA APG-79. AESA adalah akronim dari Active Electronically Scanned Array. Radar beam tidak lagi diarahkan secara mekanik dengan memutar antenna. Antenna array radar AESA dipasang fix, setiap elemen memancarkan gelombang dengan amplitudo dan fasa yang dikontrol secara elektronik. Pola superposisi gelombang dari setiap elemen akan membentuk radar beam. Kontrol elektronik membuat radar beam bisa diarahkan secara fleksibel dengan cepat, memungkinkan Super Hornet menembak beberapa AMRAAM ke beberapa target yang terpisah jauh sekaligus. Kokpit Super Hornet juga sudah terintegrasi dengan JHMCS, memungkinkan pilot untuk mengunci sasaran hanya dengan melihatnya saja, tidak harus mengarahkan hidung pesawat. Sistem ini akan sangat lethal di jarak dekat saat dipadukan dengan off-boresight missile macam AIM-9X. Situational awareness ikut ditingkatkan dengan Touch screen Up Front Control Display, LCD touch screen besar di tengah instrument panel menampilkan gabungan data dari berbagai sensor. Pilot bisa memfilter informasi dan mengatur fungsi pesawat dengan mudah dan cepat.  

Sayap yang lebih besar memungkinkan penambahan satu pylon lagi. Total Super Hornet mempunyai 6 pylon dibawah sayap, sepasang di wingtip, sepasang di fuselage, dan satu di centerline. Hal ini meningkatkan kapasitas gotong senjata Super Hornet. Bisa mengurangi jumlah pesawat yang diperlukan untuk menjalankan sebuah misi. Super Hornet juga punya kemampuan mendarat di kapal induk dengan sisa munisi dan bahan bakar lebih banyak. Menambah safety margin pendaratan di kapal induk sekaligus mengurangi pembuangan munisi yang tidak perlu.

Super Hornet didisain dalam tiga varian E, F, dan G. F/A-18E adalah varian dasar single seater, sementara F/A-18F adalah varian twin seater. Kursi kedua di belakang memang memakan tempat dan berat, akan tetapi ada manfaat besar di pertempuran. Backseater di F/A-18F tidak dibebani tugas menerbangkan pesawat sehingga bisa berperan aktif sebagai mission commander. Mengkoordinasikan operasi beberapa pesawat dalam satu misi dengan efektif. Sepasang mata tambahan juga cukup bermanfaat dalam dogfight jarak dekat. Sementara itu varian G didisain khusus untuk pertempuran elektronika, dilengkapi sensor sensitif dan jammer pod yang kuat. Sebuah strike package Super Hornet bisa terdiri dari beberapa pesawat, dikomandani oleh backseater F/A-18F, dan dilindungi secara elektronik oleh jammer milik EF-18G Growler.   

Jarak adalah salah satu faktor paling penting dalam carrier warfare. Kemampuan air refueling tetap dibutuhkan. Masalahnya dua tanker utama US NAVY, KA-6 Intruder dan S-3 Viking akan memasuki masa pensiun. Oleh karena itu Super Hornet sejak awal dibekali kemampuan untuk buddy refueling. Super Hornet dapat berperan sebagai tanker dengan membawa 4 drop tank dan sebuah refueling pod.    
Walau sudah dioptimasi, disain Super Hornet tetap memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama adalah aliran udara disekitar wing pylons mengganggu proses pelepasan senjata. Senjata yang dilepas bisa bertabrakan dengan yang lainnya. Solusi yang digunakan adalah dengan memasang pylon tidak lurus kedepan, tapi sedikit miring keluar. Selain terlihat aneh, hal ini menambah drag secara signifikan. Mereduksi jarak tempuh tambahan yang sudah susah payah diraih dengan memperbesar kapasitas bahan bakar internal. Hal ini juga menambah stress bagi pylon, sayap, dan munisi yang dibawa, mengurangi usia pakai mereka.

Kelemahan kedua sebenarnya sedikit aneh untuk fighter modern sekelas Super Hornet, yaitu tidak adanya sensor IR integral. Saingan Super Hornet seperti Rafale, Eurofighter Typhoon, dan varian Flanker terbaru dilengkapi sensor IR integral. Sensor IR bisa digunakan secara senyap, tidak mengemisikan gelombang elektromagnetik kuat yang bisa membuka posisi fighter. Sensor IR modern juga sangat sensitif, konon PIRATE milik Eurofighter bisa mendeteksi suhu kulit F-22 Raptor. Sementara itu Super hornet masih mengandalkan sensor pod. Selain menambah drag, sensor eksternal juga menempati ruang yang seharusnya bisa digunakan untuk munisi. Posisi sensor pod pada Super Hornet juga membawa masalah lain. LANTIRN pod pada F-15 dan F-16 ditempatkan pada posisi dengan bidang pandang yang luas. Sementara sensor pod Super Hornet ditempatkan di fuselage pylon sehingga hanya bisa melihat dengan bebas ke bawah. Pandangan kesamping bisa terhalang oleh munisi yang dibawa wing pylon. Solusi masa depan untuk masalah ini sepertinya kurang optimal. Sensor IR yang lebih canggih akan dibuat menyatu dengan centerline drop tank. Metode ini memberi ruang bagi sensor dengan aperture lebih besar, memungkinkan penggunaan long wave IR untuk deteksi suhu kulit pesawat dari jarak lebih jauh. Walau demikian cara ini menegasikan keuntungan utama drop tank, yaitu kemampuan untuk dibuang saat pesawat butuh performa maksimum. Pilot pasti akan diomeli habis-habisan jika membuang sensor IR super mahal, dan terpaksa dogfight dengan drag dan berat ekstra dari drop tank+sensor.

Walau digunakan secara ektensif di kapal induk US NAVY, hanya Australia satu satunya negara diluar AS yang mengakuisisi Super Hornet. Bahkan USMC lebih memilih menpertahankan F/A-18C/D Hornet sampai F-35 STOVL available. Keputusan untuk mengakuisisi Super Hornet pun tergolong kontroversial. Pasalnya pesawat ini didapuk untuk menggantikan F-14 Tomcat US NAVY dan F-111 RAAF yang sangat kapabel tapi dinilai terlalu mahal untuk dioperasikan.

Diatas dek kapal induk, F/A-18E/F tidak dipanggil Super Hornet, tapi disebut dengan nama “Rhino”. Hal ini dilakukan untuk menghindari miss komunikasi, tertukar dengan Hornet. Jika sampai tertukar saat komunikasi akibatnya bisa fatal karena setelan catapult and arrester cable untuk Hornet dan Super Hornet berbeda.

Walau punya berbagai kekurangan dan customer yang sedikit, Boeing masih yakin dengan disain Super Hornet dan sedang mengembangkan varian terbaru, Advanced Super Hornet. Kapasitas bahan bakar varian ini didongkrak lagi dengan Conformal Fuel Tank yang dipasang di punggung, mirip dengan F-16 Block 60. Dengan CFT diharapkan bahan bakar yang dibawa sudah cukup, tidak perlu lagi drop tank di wing pylon dan bahkan di centerline. Centerline pylon kemudian ditugasi membawa Enclosed Weapon Pod. EWP adalah kotak besar berbentuk streamline yang punya RCS kecil. Didalamnya tersimpan sejumlah munisi pintar secara stealthy. Daya serangnya memang tidak besar, tapi bisa menusuk jauh ke garis belakang musuh dan menyerang titik vitalnya secara akurat. Selain itu Boeing juga akan meningkatkan kemampuan sensor pasif Super Hornet dengan radar pasif yang berbasis sistem milik Growler dan integrated IRST.   

Hasegawa 1/72 F/A-18F Super Hornet

Hasegawa 1/72 F/A-18F parts
Mokit ini adalah tipikal Hasegawa, semua parts kecuali clear sprue dipacking dalam satu plastik pelindung, Cara seperti ini memang beresiko merusak parts akibat gesekan. Untungnya plastik Hasegawa berkualitas sangat baik, tidak ada cacat yang terlihat. Dari jarak agak jauh, parts kit ini terlihat biasa saja. Keindahannya baru terlihat dari jarak dekat. Panel line dicetak recessed sangat halus dan diperkaya relief surface detail yang tajam. Semua detail ini akan terlihat realistis setelah painting dan weathering.

Hasegawa memberi perhatian cukup besar pada akurasi. Instruction sheet menunjukkan panel line dan raised detail tertentu yang perlu dihapus untuk membuat Super Hornet akurat sesuai pesawat spesifik yang akan dibuat.
Hasegawa 1/72 F/A-18F clear parts and decal
Clear parts dikemas dalam plastik pelindung tersendiri. Hal ini dilakukan untuk menjaga clear parts dari gesekan, menjaganya tetap jernih untuk menghasilkan model terbaik.

Kelemahan utama kit ini adalah kokpitnya. Hasegawa bermain aman di area ini dengan merepresentasikan instrument panel dan side console menggunakan decal. Metode ini memang tidak se-realistis raised relief, tapi jauh lebih mudah dibuat. Cukup cat warna dasar yang sesuai lalu pasang decal yang sudah di trim. Trimming perlu dilakukan untuk mencegah carrier film menonjol keluar, cukup susah dikoreksi setelah decal diapsang. Trimming bisa dilakukan dengan bantuan hobby knife atau cutter tajam. Cukup potong lapisan decal filmnya saja, tidak perlu sampai memotong backing paper. Jika dilakukan dengan benar hasilnya cukup memuaskan mengingat kokpit skala 1/72 cukup kecil dan instrument panel Super Hornet didominasi layar LCD yang datar. Hasegawa menyediakan ejection seat yang cukup sederhana, bisa diperkaya lagi dengan scratch build.

Hasegawa menyediakan polycap untuk memasang elevator. Elevator tidak perlu di lem mati, bisa dipasang belakangan dengan posisi yang diinginkan. Metode ini juga menghindari kemungkinan patahnya elevator saat assembly dan painting.

Salah satu daya tarik carrier aircraft adalah landing gear. Take off dengan diseret catapult dan landing dengan kecepatan tinggi menuntut landing gear kokoh dan suspensi rumit. Hasegawa merepresentasikan bentuk landing gear Super Hornet dengan sangat baik di kit ini.   

Hasegawa terkenal pelit dalam hal munisi pesawat. Hasegawa tidak menyediakan munisi air-to-ground di kit ini. Anda bisa mendapatkannya dari sisa kit lain atau weapons set khusus keluaran Hasegawa.

Untungnya Hasegawa menyediakan load out lengkap untuk misi air-to-air. ATFLIR pod yang cukup akurat disediakan utuk dipasang di fuselage pylon. Centerline dan wing inboard pylon bisa dicanteli tiga buah drop tank lengkap dengan stencil dalam bentuk decal. Wing center pylon memang kosong, tapi paling tidak Hasegawa menyediakan pylon yang detail.

Hasegawa 1/72 F/A-18F AMRAAM
Wing outboard pylon bisa dicanteli AIM-120 AMRAAM. Walau bentuknya sederhana, AMRAAM dicetak dengan sangat baik. Fin disediakan  dalam parts terpisah untuk ketipisan yang lebih akurat. Stencil dan ring marking disediakan dalam bentuk decal.
Hasegawa 1/72 F/A-18F AIM-9X
Hasegawa juga tidak lupa menyertakan rudal unggulan Super Hornet di kit ini, AIM-9X Sidewinder. Biarpun namanya Sidewinder, AIM-9X adalah rudal yang jauh berbeda dari Sidewinder sebelumnya. Kurang lebih hanya motor roket dan warhead saja yang sama. Sensor AIM-9X bekerja dengan memproses image infra red dengan bidang pandang lebar sehingga lebih sulit dikecoh oleh countermeasures ataupun evasive maneuver. Fin ekor AIM-9X tidak lagi berukuran besar seperti versi sebelumnya, tapi kecil dan nozzlemya dilengkapi thrust vectoring. Thrust vectoring membuat AIM-9X bisa berbelok sangat tajam, bisa mengikuti panduan dari helm pilot (JHMCS) untuk menembak sasaran sampai 90 derajat di samping. Thrust vectoring nozzle disediakan Hasegawa dalam part terpisah untuk detail maksimun. Tidak lupa stencil dan ring marking juga disediakan dalam bentuk decal.

Hasegawa menyediakan decal untuk membuat F/A-18F Super Hornet VFA-11 Red Rippers yang ditugaskan di USS Theodore Roosevelt tahun 2014-2015. Sesuai dengan box art, tersedia decal untuk pesawat milik CAG. CAG adalah komandan tertinggi air wing kapal induk, membawahi seluruh elemen udara tidak hanya skuadron fighter saja. Pesawat CAG biasanya memiliki marking high visibility yang unik, disediakan dengan akurat oleh Hasegawa di kit ini. Jika Anda lebih menyukai marking low visibility yang lebih kalem, Hasegawa juga menyediakan opsi untuk Super Hornet tunggangan CO (Commanding officer) skuadron.

Overall walau memiliki kekurangan di kokpit dan munisi air-to-ground, kit ini tetap merupakan salah satu Super Hornet terbaik di skala 1/72. Detil permukaan yang dicetak tajam dan konsisten adalah poin plus utama kit ini. Memang tidak berlebihan dan tidak mencolok, tapi akan terlihat sangat realistis setelah model jadi. Load out misi air-to-air yang lengkap, tajam, akurat, dan diperkaya marking juga merupakan poin plus mokit ini. Fitting khas hasegawa yang terkenal presisi juga mempermudah modeler pemula untuk merasakan asyiknya hobby ini. Sementara modeler senior bisa memperkaya kokpit dengan detil scratch build yang lebih lengkap.

 Silahkan kunjungi toko kami, www.rumahmokit.com untuk memiliki kit ini dengan mudah, Terimakasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar